08/09/10

biskuit lebaran (cerpen)

Ketika malam semakin larut, satu per satu penumpang mulai terlelap. Tidak terkecuali keluarga yang sedang kami jadikan target. Setelah yakin semua sudah tertidur, kami mulai mengendap-endap mendekati sasaran. Dalam hitungan detik kaleng biskuit itu berpindah tangan. Biskuit itu kami curi. Di kegelapan, di dekat cerobong asap, biskuit itu kami lahap dengan penuh selera. Sesekali diselingi tawa. Kami menertawakan ‘kebodohan’ pemilik biskuit. Bodoh karena tidak menyimpan dengan baik ‘barang berharga’ tersebut.

Malam itu juga isi kaleng ludes tanpa bekas. Pindah ke perut kami. Nikmatnya luar biasa. Pelayaran sudah memasuki hari kedelapan. Makanan jatah kapal mulai sulit masuk ke tenggorokan. Uang sudah habis. Kami mulai kelaparan. Kami membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar nasi dan seonggok kangkung rebus tanpa garam yang menjadi menu harian selama pelayaran.

Saya sedang dalam perjalanan dari Jayapura menuju Jakarta. Beberapa minggu setelah ayah meninggal, pertengahan 1978, saya terpaksa meninggalkan Papua. Sekolah terancam putus karena tidak ada biaya. Kakak perempuan saya, yang tinggal di Jakarta, menawari bantuan biaya sekolah dan tempat tinggal. Maka berangkatlah saya menuju Ibu Kota.

Kapal PELNI yang saya tumpangi sebenarnya bukan khusus untuk penumpang. Kapal itu hanya menyediakan sejumlah kamar, sisanya geladak terbuka yang di bagian bawahnya berisi barang-barang angkutan. Mulai dari beras, gula, kayu, solar, sampai semen. Jumlah kamar yang terbatas membuat sebagian penumpang harus rela tidur di atas geladak beralaskan terpal. Jika kapal berlayar, bagian atas geladak itu ditutupi terpal untuk melindungi penumpang dari panas dan hujan. Setiap singgah di pelabuhan, muatan dibongkar. Penumpang yang tidur di atas geladak silakan menyingkir sejenak, sampai urusan bongkar-muat selesai. Namun setelah palka ditutup, biasanya terjadi perebutan untuk mengkapling-kapling wilayah ‘jajahan’ di atas dek itu. Biasanya terjadi adu mulut. Siapa kuat dia menang.

Mereka yang sudah berhasil mendapatkan wilayah kekuaaan, biasanya mematok daerah kekuasaannya itu dengan ‘pagar’ berupa barang-barang bawaan mereka. Koper, tikar, bantal, kursi lipat, rantang, panci, ember, dan gayung dijadikan ‘pagar’ . Pokoknya barang apa saja yang bisa digunakan akan dipakai sebagai pembatas teritorial.

Persoalannya, di setiap pelabuhan selalu ada penumpang yang naik. Penumpang baru biasanya tidak mau tahu soal batas teritorial ini. Mereka mencoba membuat batasan baru. Maka di sinilah sumber percekcokan. Adegan yang sama akan berulang-ulang di setiap pelabuhan. Begitu kegiatan bongkar-muat selesai, penumpang berebut menggelar tikar dan mematok batas teritorinya. Semakin lama batas teritorial ini semakin kecil. Sebab kalau penumpang baru yang naik itu ‘orang kuat’, misalnya anggota TNI, Polisi, atau keluarga Anak Buah Kapal (ABK), biasanya terjadi kompromi, yakni berbagi teritori. Sebenarnya kakak ipar saya yang bekerja di PELNI menitipkan saya pada sejawatnya di kapal itu. Tetapi karena merasa tidak enak hati tinggal di kamarnya yang sempit, dan mengganggu privasi sang sejawat, saya memilih tidur di dek. Saya bergabung dengan beberapa pemuda yang juga dalam perjalanan menuju Jakarta. Jayapura ke Jakarta memakan waktu lima belas hari. Dari Jayapura biasanya singgah di Biak – Sorong – Ambon - Makassar – Surabaya – baru tiba di Jakarta.

Biasanya, di antara penumpang ada yang tanpa tiket. “Penumpang gelap” ini biasanya dengan segala cara menyelundup naik ke kapal. Lalu setelah di atas bagaimana? Tidak usah khawatir. Cukup ‘main mata’ dengan membayar ‘uang makan’ ke ABK, semua urusan beres. Tentu lebih murah ketimbang membeli tiket. Pokoknya tahu sama tahu. ABK toh manusia juga.

Saya termasuk penumpang tanpa tiket. Penumpang titipan. Tidak usah bayar tiket. Tetapi selama pelayaran, urusan makan ditanggung sendiri. Maka cara yang paling murah adalah membayar langsung ke koki di dapur. Sudah bukan rahasia penumpang tanpa tiket, agar mendapat jatah makan, membayar langsung ke koki. Biasanya bayar di muka sesuai jarak perjalanan. Menunya sama dengan penumpang yang bertiket. Cuma memang harus sabar karena pada jam pembagian makan, penumpang bertiket dulu yang dilayani. Mereka yang membayar ke koki harus menunggu sampai semua penumpang terlayani. Setelah itu baru koki akan membagikan ‘makanan sisa’ kepada penumpang khusus ini. Asyiknya, seringkali jatah untuk penumpang khusus ini lebih banyak dan kadang dapat bonus daging rebus atau telor ceplok.

Menu harian hanya sepiring nasi, kangkung rebus yang rasanya aneh karena dimasak secara massal, plus sepotong kecil telur dadar. Itu-itu saja dari hari ke hari. Lima hari pertama, makanan itu masih bisa masuk ke tenggorokan. Lebih dari itu, pandai-pandailah menggunakan imajinasi. Jika tidak, silakan kelaparan.

Bagi mereka yang punya cukup uang, bisa memilih makan di warung di bagian perut kapal. Sejumlah pedagang asal Makassar dan Padang rupanya jeli melihat peluang bisnis. Penumpang yang sudah tidak tahan menyantap menu kangkung rebus dan telur dadar tadi adalah sasaran mereka. Terapung-apung selama belasan hari bisa membuat orang frustasi. Apalagi jika makanan jatah mulai membuat perut mual sebelum menelannya. Maka pikiran jahat biasanya mulai menggoda. Godaan yang sering tak tertahankan.

Itulah yang terjadi pada saya dan teman-teman. Sekelompok pemuda dengan uang pas-pasan. Untuk mengisi waktu biasanya kami bermain kartu, bernyanyi diiringi gitar, atau cuma ngobrol sampai larut malam.

Bermula pada suatu malam, ketika perut mulai keroncongan, seorang di antara kami mulai iseng mencuri makanan milik penumpang lain. Tidak sulit karena makanan itu biasanya cuma diletakkan sebagai pembatas teritori tadi. Sasaran yang empuk dan sangat mudah.

Dari keberhasilan satu ke sukses lain membuat kami jadi terbiasa. Setiap malam satu per satu makanan penumpang lain kami curi. Sasaran kami terutama mereka yang baru naik, yang belum mengenal situasi. Selain itu, penumpang baru biasanya membawa banyak makanan persediaan untuk perjalanan.

Suatu hari, saat kapal singgah di Sorong, naik satu keluarga terdiri dari seorang kakek, anak, menantu, dan dua cucunya. Mereka keluarga transmigran yang hendak pulang ke Jawa. Mata kami berbinar-binar melihat barang bawaan mereka. Teruama sebuah kaleng biskuit Khong Guan yang mereka tenteng. Dari fisiknya, kami segera tahu itu kaleng baru, yang belum dibuka. Artinya, sebentar lagi kami akan berpesta biskuit.

Saat yang ditunggu tiba. Malam hari, ketika mereka terlelap, kami mulai beraksi. Dengan mudah kaleng biskuit itu berpindah tangan. Di atas anjungan, di kegelapan, kami berpesta pora. Dalam hitungan menit isi biskuit tandas. Kalengnya kami lempar ke laut. Setelah itu kami tertidur pulas. Pagi hari terjadi keributan. Geger. Keluarga tersebut sibuk bertanya ke sana ke mari perihal biskuit mereka. Tidak seorang pun yang ditanya bisa memberi info. Kalaupun ada yang tahu, mereka tentu tidak mau mencari-cari perkara dan harus berurusan dengan sekelompok anak muda yang sedang kelaparan.

Setelah lelah mencari dan bertanya, keluarga itu akhirnya menyerah. Pasrah. Wajah mereka tampak masgul. Begitu memelas. Sang kakek bahkan menangis. Pada saat itu saya baru tersadar betapa biskuit itu punya arti luar biasa bagi keluarga itu. Mata saya juga seakan baru terbuka. Melihat penampilan mereka, dari pakaian dan koper yang dibawa, jelas kondisi ekonomi mereka jauh dari sejahterah.

Dari hasil menguping, ternyata mereka transmigran asal Trenggalek, Jawa Timur, yang hendak pulang kampung untuk Lebaran. Dengan segenap kemampuan mereka mengumpulkan uang untuk membeli tiket ‘kelas dek’. Sementara sang kakek menguras uang tabungannya demi sekaleng biskuit merek Khong Guan.

Cucu sang kakek setiap hari merengek meminta agar diperkenankan membuka kaleng dan menikmati biskuit di dalamnya. Namun sang kakek berusaha membujuk agar kedua cucunya bersabar. Jika tiba waktunya tentu diperbolehkan menikmati biskuit itu sepuasnya. Waktu yang dijanjikan itu adalah saat Lebaran nanti. Selain Lebaran memang hari yang istimewa, rupanya keluarga tersebut juga ingin ‘memamerkan’ lebih dulu biskuit tersebut kepada tetangga mereka di kampung. Keluarga itu ingin menunjukkan kepada warga desa betapa mereka sudah ‘berhasil’ di tanah rantau. Simbol keberhasilan itu mereka wujudkan dalam bentuk sekaleng biskuit Khong Guan. Namun simbol kebanggaan itu telah raib dicuri sekelompok pemuda iseng.

Maka sepanjang sisa pelayaran kami menyaksikan wajah-wajah yang bersedih. Terutama wajah sang petani tua. Muncul penyesalan. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada keberanian untuk mengaku di hadapan mereka bahwa kamilah yang mencuri biskuit itu. Sementara kami juga tidak memiliki kemampuan untuk mengganti biskuit yang dicuri.

Kami sungguh menyesal. Kegembiraan kami menyantap biskuit curian malam itu ternyata beralaskan penderitaan sebuah keluarga yang kehilangan kebanggaan dan mimpi. Mimpi berlebaran dengan sekaleng biskuit yang dibeli dengan uang tabungan seorang petani tua.

sumber:  kickandy.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar